Rabu, 06 Mei 2015

Demi Emak


    Semua Penduduk Desa Adem Ayem geger. Bau menyengat yang berasal entah dari mana membahana seantero desa, menyebabkan nyamuk-nyamuk meninggal dunia, dua kambing keracunan oksigen, dan para penduduk terganggu aktivitasnya.

    Setelah ditelusuri, bau itu berasal dari rumah Emak. Wanita paruh baya itu sudah seminggu ini menderita penyakit aneh yaitu suka kentut. Masalahnya, bau kentut Emak awet sampai 24 jam. Tabib, dukun, bahkan dokter yang sengaja didatangkan dari luar(luar kampung maksudnya) menyerah terhadap penyakit yang menimpa Emak, semua gigit jempol. Meski begitu, Aziz sang anak tak pernah putus asa mencari pengobatan dan selalu berdoa untuk kesembuhan Emak. Anak berbakti itu merasa kasihan melihat Emak tak berani keluar sangkar karena malu atas penyakitnya.

    Kemana ... kemana ... kemana ....

    Lagu salah alamatnya Ayu tak lagi ting-ting yang berdengung lewat radio butut Aziz seakan menambah kepiluan. Kemana lagi ia harus mencari obat?

    ***

    "Mandikanlah Emakmu dengan kembang delapan rupa. Tak boleh lebih, tak boleh kurang. Segera lakukan di malam minggu ini tepat jam delapan."

    "S-siapa kau? Kenapa harus delapan rupa? S-setauku hanya tujuh rupa," tanya Aziz bergetar. Keringat membanjir.

    Plak!! Satu tamparan mengenai lengan Aziz.

    "Dasar!!! Aku adalah Eyang Zhe. Kenapa kau melupakan nenekmu sendiri. Carilah kembang ke-delapan di hutan rimba dalam sebuah sumur tua."

    "Apa nama kembang itu?" tanya Aziz ketakutan.

    "Kahkahkah ... kasih tahu gak ya?" Eyang Zhe terkekeh dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.

    Aziz memasang wajah memelas.

    "Kembang kentut-kentutaaan ...." teriak Eyang Zhe sebelum menghilang dalam gelap. Jleb!!!

    "Aaa ...." Aziz berteriak bangkit dari tidurnya. Rupanya ia tadi bermimpi bertemu Eyang Zhe. "Kembang kentut-kentutan? Aku harus segera mendapatkannya!" tekad Aziz.

    ***

    Aziz memasuki hutan rimba nan angker sendirian tanpa teman. Baru beberapa langkah menyusuri hutan, ia membaca sebuah plang bertuliskan "Three In One" yang bertengger di badan pohon jambu.

    Astaga! Ia harus melewati jalan itu minimal bertiga, jika tidak, maka akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Kemana ia harus menyewa joki di hutan ini? Aziz bertanya dalam hati.

    Dalam kegalauan, Aziz memutuskan untuk beristirahat. Di bawah pohon mahoni, ia membuka perbekalan yang dimasak Emak, nasi berlauk tumis jangkrik. Belum sesuap sampai di mulutnya, tiba-tiba ....

    "Hai, makan enak nggak ngajak-ngajak!" seru seseorang dari belakang.

    Aziz berbalik lalu memandangi seorang remaja sebayanya berdiri tepat di belakang, berpakaian serba merah lengkap dengan tas dan topi merah. Ia ternganga sekaligus terpana.

    "Perkenalkan, aku Ilo Si Bolang, bocah petualang. Ini Wiro, kameramanku," sambung remaja itu lagi.

    Tak berapa lama Aziz dan Ilo sudah terlihat akrab. Aziz menceritakan masalah pada teman barunya. Ilo ingin membantu dan mengajak untuk melakukan perjalanan bertiga usai santap tumis jangkrik. Akhirnya Aziz bisa melewati jalan 'three in one' tanpa halangan.

    Aziz dan Ilo mendaki gunung lewati lembah, menyusuri sungai yang mengalir indah ke samudra. Bersama-sama bertualang ke tempat yang jauh belum pernah terjamah. Suasana begitu sepi di tengah hutan. (Hayo tebak ini lagunya siapa?)

    "Ziz, itukah sumur tua yang kau cari?" tanya Ilo Si Bolang sembari menunjuk sesuatu di bibir jurang.

    "Betul ... betul ... betul. Mari kite ke sane." Tiba-tiba suara Aziz menyerupai Ipin Upin. Ia memukul mulutnya sendiri agar pulih.

    Aziz dan Ilo lelarian menghampiri sumur tua, tak ketinggalan sang kameraman mengiringi kedua remaja itu dengan sorotan kamera. Aziz mengedarkan pandangan ke dalam sumur yang ternyata adalah jurang yang dalam. Harum semerbak menggoda hidung Aziz, sebuah kembang berwarna emas gelayutan di dinding sumur.

    "Aku kira daun kentut-kentutan itu baunya nggak enak. Ternyata ini bau paling wangi yang pernah kucium," celoteh Ilo.

    "Bagaimana cara kita mengambilnya?" tanya Aziz tampak kebingungan.

    "Tenang ...." Ilo mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah alat pancing lipat, Ilo membuka lipatannya agar menjadi panjang dan mengikatkan sebuah jaring penangkap capung pada ujungnya. "Tarra ... pancingan capung!"

    "Kahkahkah ... kreatif juga kamu. Pantas saja disebut bocah petualang." Aziz tergelak.

    Akhirnya mereka berhasil mengambil kembang kentut-kentutan yang sangat harum itu. Aziz menangis haru karena telah mendapatkan benda yang ia cari. Ilo dan Wiro senang meski sesekali turut menyeka air mata.

    "Mak, tunggu Aziz ...," kata Aziz dengan mimik wajah penuh ambisi, tak lupa sang kameraman mendokumentasikan adegan itu, hingga dua kali zoom ke wajahnya (kayak di sinetron)

    Jreng ... jreng ....

    ***

    Seminggu kemudian.

    Rumah Aziz dipadati penduduk dalam dan luar desa. Ada apa gerangan?

    Aziz terlihat sibuk membungkus sesuatu.
    "Untunglah Mak, Aziz borong semua kembang kentut-kentutan, sekarang kita bisa membudidayakannya di kebun," kata Aziz, senyum sumringah menghiasi bibirnya sedari pagi.

    "Penemuanmu hebat, Emak bangga!"

    Di halaman rumah terpampang sebuah papan reklame bertuliskan,

    "ADA JUAL SABUN DAN SHAMPO SEHARUM SEWANGI ASLI DARI EKSTRAK BUNGA KENTUT-KENTUTAN."

    Di bawah tulisan itu terdapat tulisan lebih kecil,

    "Membuat kulit anda selembut pantat bayi dan harum mewangi. Produksi : Aziz dan Emak."

      ***Tamat****

Note : Bakti kepada orang tua, memberi tak mengharap apa-apa. Ikhlas itulah kuncinya.
Lihatlah Aziz yang telah bersungguh-sungguh untuk membantu Emak, Allah selalu memberi jalan. Bahkan yang ia dapat lebih dari yang ia inginkan. Ikhtiar, tawakkal, dan doa.

(Barabai, agustus 2014)